News

SUBSIDI, KAMU JAHAT TAPI ENAK

Sen, 12 Jun 2017
1:16 pm
Opini
Share :
Oleh :   |

Era tanpa subsidi sepertinya menjadi salah satu fokus pemerintahan baru ini. Terbukti, dengan semakin getolnya pemerintah menghapus subsidi-subsidi yang dirasa tidak tepat guna. Di tahun 2017 ini, giliran penikmat subvensi setrum golongan 900VA yang harus legowo karena anggaran mereka untuk membayar listrik dipastikan naik sebagai akibat dari keputusan pemerintah mencabut subsidi listrik untuk 82 persen pelanggan listrik 900VA.

Langkah pemerintah ini cukup beralasan. Mengacu pada data yang dirilis Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), dari sekitar 23 juta pelanggan listrik rumah tangga 900VA, sebanyak 18,9 juta pelanggan dinyatakan mampu dan layak untuk membayar tarif listrik sesuai harga keekonomian (non-subsidi). Sedangkan sisanya sebanyak 4,1 juta pelanggan dinilai berhak mendapatkan subsidi listrik dari pemerintah.

Fakta yang cukup mengejutkan, mengingat selama ini dana yang dialokasikan untuk subsidi listrik selalu membengkak dibandingkan dana yang dianggarkan, tercatat di tahun 2016 pemerintah mengalokasikan dana mencapai 50,6 triliun rupiah (termasuk kekurangan subsidi tahun sebelumnya senilai 12,2 triliun) untuk subsidi listrik namun realisasinya membengkak hingga 63,1 triliun rupiah. Padahal anggaran untuk subsidi listrik sendiri telah memakan 53,65% total subsidi energi yang pada APBN-P TA 2016 sebesar 4,52% dari seluruh dana yang dianggarkan.

Lelah menjadi tukang talang setrum, akhirnya pemerintah memutuskan untuk mencabut subsidi listrik 900VA sejak 1 Januari lalu. Pencabutan yang dilakukan bertahap selama enam bulan ini, sukses menaikkan tarif listrik yang tidak pernah mengalami kenaikan dalam jangka empat belas tahun ini hingga 143 persen dari tarif awal. Rakyat menjerit. Inflansi melejit.

Nyatanya, dengan dicabutnya subsidi ini setidaknya APBN 2017 untuk subsidi listrik turun 11,17 persen dari anggaran tahun sebelumnya dan membantu pemerintah dalam meningkatkan rasio elektrifikasi Indonesia yang saat ini masih berada di angka 89,5 persen. Artinya, masih ada 10,5 persen atau sekitar tujuh juta kepala keluarga yang belum mendapatkan pasokan listrik.

Angin segar akhirnya berpihak pada 15 persen total populasi Indonesia yang selama ini hanya bisa menjadi penonton atas triliunan anggaran untuk subsidi listrik yang boro-boro mereka nikmati, mendapatkan pasokannya saja belum.

Jika diibaratkan, subsidi seperti penggalan lirik lagu milik Sisitipi, kamu enak tapi jahat. Menjadi teman baik masyarakat Indonesia sejak rezim orde baru, subsidi terus memanjakan masyarakat dengan kekuatannya untuk menurunkan harga barang.

Murahnya harga barang di pasar tentunya tidak terjadi begitu saja, budaya yang digagas pada era Soeharto ini memberikan bantuan keuangan bagi masyarakat agar dapat menjangkau barang-barang yang sejatinya tidak terjangkau menjadi sangat terjangkau sehingga dapat meningkatkan daya beli masyarakat. Tetapi, sayangnya “keterjangkauan” ini harus dibayar dengan naiknya hutang pemerintah. Ya, untuk membuat kita mampu membeli barang A-I-U-E-O pemerintah rela hutang sana-sini demi citra zaman terenak sepanjang sejarah.

Sayangnya, budaya ini terus dibiarkan hingga membuat masyarakat lupa bahwa kemampuannya membeli barang tidak lepas dari peran pemerintah yang harus sesak nafas mengalokasikan anggaran demi meningkatkan daya beli masyarakat. Satu pandangan yang belum bisa lepas dari masyarakat Indonesia, bahwa meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah mutlak kewajiban pemerintah. Andai, Amerika Serikat berpikiran senada, mana mungkin ia menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi terbaik di dunia.

Dalam jangka pendek subsidi itu baik. Misalnya begini, Raisa adalah seorang pekerja dengan gaji 1.000 rupiah per bulan. Pemerintah tempat Raisa tinggal sangat baik hingga memberikan subsidi di hampir seluruh barang di pasar melalui hutang, anggaplah salah satunya beras.

Jika tanpa disubsidi harga beras dipasar mencapai 300 rupiah/kg dengan adanya subsidi harga beras di pasar hanya 200 rupiah/kg. Berarti, dengan gajinya yang mencapai 1000 rupiah Raisa dapat membeli 5  kg beras tiap bulan. Nyatanya, kebutuhan beras Raisa hanya 2kg saja tiap bulannya.

Jika tanpa subsidi Raisa harus menanggarkan 600 rupiah dari gajinya untuk membeli beras dengan adanya subsidi Raisa hanya membutuhkan 400 rupiah untuk membeli beras. Terdapat selisih 200 rupiah yang dapat digunakan Raisa untuk membeli barang lain, apapun itu. Raisa senang karena semakin banyak barang yang dapat ia jangkau, pemerintah senang karena pertumbuhan ekonomi negaranya mengalami kenaikan.

Tetapi, dalam jangka panjang perekonomian negara ini harus terseok-seok. Uang yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur, peningkatkan sumber daya manusia, pengembangan iptek, habis untuk mensubsidi konsumsi-konsumsi dari Raisa dan masyarakat lainnya.

Padahal, asal uang tersebut juga bukan dari kantong pemerintah alias hutang. Akibatnya, pemerintah negara tersebut harus menalangi hutang yang terus bertambah tiap tahunnya dan mensubsidi konsumsi yang hanya menyenangkan di jangka pendek saja.

Puluhan tahun kemudian, ketika anggaran terus membengkak untuk subvensi masyarakat pemerintah baru sadar akan kesalahan yang selama ini mereka lakukan. Raisa yang terlanjur terlena dengan segala suntikan dana akan terkejut ketika pemerintah tidak lagi ada untuknya, padahal ketika dahulu Raisa telah terbiasa dengan membeli beras seharga 600 rupiah tentunya ia akan lebih pintar dalam mengalokasikan penghasilan yang ia peroleh.

Tetapi sekarang? Ketika konsumsinya sudah merambah A-B-C-D dan berasnya tak lagi disubsidi? Dalam jangka pendek Raisa akan kesusahan dan mungkin merasa menjadi manusia termiskin di dunia.

Lalu, apakah subsidi benar-benar jahat? Tergantung. Subsidi yang tepat guna tidaklah jahat dan sangat membantu masyarakat untuk menaikkan taraf hidupnya, setidaknya dalam jangka waktu beberapa tahun biaya yang mereka keluarkan berkurang dengan adanya subsidi. Seperti yang dilakukan Raisa, alokasi pendapatan mereka diharapkan lebih efisien sehingga dapat menaikkan taraf hidupnya.

Namun, apabila salah sasaran hanya akan menjadi beban bagi pemerintah. Masyarakat yang seharusnya mampu membiayai hidupnya sendiri ikut menikmati sesuatu yang tidak menjadi haknya, memang taraf hidupnya akan naik tetapi bagaimana dengan hutang pemerintah dan mereka yang seharusnya lebih berhak namun tidak mendapatkan subsidinya? Ketimpangan sosial adalah jawabannya.

Terlepas dari berbagai akibat yang nantinya akan timbul sebagai akibat dari pencabutan subsidi listrik 900 watt. Untuk saat ini, mari bersama-sama menaruh gelombang optimisme pada pemerintah bahwa kebijakan yang mereka ambil adalah demi kemaslahatan seluruh masyarakat Indonesia. Soal kritisi dan berbagai spekulasi apakah rencana-rencana ini hanya rencana saja? Atau teralokasi dengan baik seperti harapan kita bersama? Waktu yang akan menjawab semuanya.

Alysia Meidina S.
Mahasiswi Departemen Manajemen Bisnis ITS 2016

Latest News